Selasa, 22 Maret 2011

Rahasia dibalik kelelahanku

RAHASIA DI BALIK KELELAHANKU
Diantara gelap gulitanya kehidupan dan keramaian kota, di tengah-tengah hirup pikuk manusia yang menikmati realita kehidupan malamnya, serta diantara kerinduan hati untuk bersama lagi dengan keluarga. Aku berjalan dengan gontai mengiringi semilir angin yang menyeruak kedalam tubuhku, aku juga diguyuri rintiknya air hujan yang memercik beribu-ribu jatuh membasahi seluruh pakaianku. Hingga langkahku terhenti di bawah pohon beringin yang besar sebagai tempat untuk aku berteduh dan mengeringkan pakaian dengan hembusan angin, aku menyadari bahwa tempat ini adalah tempat para peminta-minta bersandar dari kelelahannya.
Aku merasakan jua, tempat ini adalah sebuah kenangan, ikatan persahabatan tercipta disini. Namun, sekarang aku tertatih sendiri, sendiri dalam gelapnya malam yang dipenuhi oleh kerumunan manusia tak beradab. Aku mengukir kesedihan, aku tidak tahan menjalani semua ini, kesendirian yang ditemani oleh penyakit dalam tubuhku. Sesaat aku merenung, merasakan atas kepedihan yang telah ayah lakukan kepadaku. Tapi, aku hanya bisa bersimpuh dan hanya itu yang dapat aku lakukan sekarang, memohon kepadaNya semoga diberi kekuatan dalam menerima semua ini dan bisa menahan semua haloba yang datang kepadaku.
Aku meneruskan langkah yang terhenti sesaat dan aku tinggalkan tempat itu, melangkah dan terus melangkah tanpa tahu kemana arah dan tujuannya, lelah yang aku rasakan tidak kalah sakitnya dengan apa yang telah ayah lakukan kepadaku yaitu mengusirku tanpa ada salah apapun, malah ayah yang bersalah karena sudah tertangkap basah sedang bercumbu mesra dengan wanita bukan ibu. Biarlah ini terjadi karena nasib dan waktu hanya Sang Maha Kuasa yang dapat menentukannya. Kini aku merasakan dalam batin untuk terus bersemangat dalam meniti kehidupan yang fana ini. Akhirnya aku ukir dalam hati untuk tetap tertatih pada bumi ciptaanNya.
Selintas rasa sakit yang ada dalam tubuhku ini terasa, aku hiraukan semuanya. Aku harus terus dan terus berjuang untuk mengejar cita-citaku yaitu menjadi seorang sastrawan. Langkahku kembali terhenti, tepat di depan mesjid,dan aku langsung memasukinya. Pandanganku langsung tertuju pada jam dinding yang menempel diatas mihrab. Jam menunjukan pukul 02.32 WIB, aku terdiam terpaku karena aku tidak menyadari bahwa aku berjalan di tengah kegelapan malam yang sudah cukup lama. Niatku langsung terkuak untuk melaksanakan kebiasaanku yaitu melaksanakan shalat tahajud, aku langsung terperanjat untuk mengambil air wudlu dan aku segera melaksanakan shalat tahajud.
Aku bersimpuh pasi kepadaNya, aku memohon dan aku berdo’a kepadaNya.
“ Ya….. Allah, inilah hamba yang kembali bersimpuh dihadapanMu. Hamba serahkan seluruh hidup dan mati hamba, hamba tak kuasa diatas kekuasaan Engkau, hamba hanyalah makhluk hina yang tak pernah luput dari dosa. Hamba memohon kuatkanlah hati hamba, dan kuatkanlah jiwa raga hamba untuk menapaki perjalanan hidup hamba sekarang. Ya…. Allah hamba bertekad untuk tetap berjuang dalam meniti hidup hamba. Maka dari itu hamba mohon tabahkanlah hati hamba. Hanya Engkau tumpuan dan harapan hamba. Kemana lagi hamba memohon dan kepada siapa lagi hamba memohon pertolongan, hanya Engkau ya Rabb. Satu lagi permintaan hamba berilah ganjaran yang setimpal kepada ayah hamba yang telah melakukan perbuatan keji itu. Amin ya Allah ya Rabbal ‘alamin.
Mataku meneteskan airmata, airmata atas pengharapanku tanpa disadari hingga aku terlelap tidur diatas sajadah yang aku duduki. Seulas mimpi menyinggahi tidurku .
* Pulanglah nak, cepatlah pulang. Umi menunggu disini, Umi rindu, rindu kepadamu nak, Umi sedih sekali ditinggalkan olehmu.
Aku yang masih berada diatas sajadah itu. Dimana aku tertidur lelap, langsung terperanjat dari keterjagaanku. Aku memikirkan mimpi itu, aku ingin sekali pulang kembali ke rumah. Tapi aku tidak bisa karena aku telah bertekad untuk tidak akan pulang sebelum lelaki bejad tak bermoral itu pergi meninggalkan rumah.
Aku mengambil buku dari tas yang aku bawa, kata demi kata aku tuliskan hingga aku bisa merangkai kata menjadi cerpen dan aku beri judul “ Cinta putih dua insan”. Tak sadar aku melihat barisan saf shalat. Iqomat pun berkumandang tandanya shalat subuh telah tiba. Aku langsung beranjak dari sejadah itu dan aku segara mengambil air wudlu dan segera pula melaksanakan shalat subuh berjama’ah.
Setelah selesai melaksanakan shalat subuh, aku kembali bersimpuh kepadaNya dan meminta ketabahan serta kekuatan dalam menjalani hidup. Aku terdiam seribu bahasa setelah aku melihat kak Umam yang duduk tak jauh dariku hanya terhalang oleh tiga orang jama’ah.
Akhirnya pandanganku beradu dengan kak Umam. Kak Umam pun menghampiriku.
“ Dik….,Bagaimana kabarmu? kakak dan ibumu menunggumu dirumah, sudah empat hari kamu tidak pulang. Kakak tahu kamu kesal terhadap ayah yang keterlaluan hingga kamu dipukul dan diusir oleh ayah sehingga kamu pergi dari rumah kaya begini. Dik…., kembalilah kerumah, ibu yang tidak bersalah kenapa ditinggalkan olehmu, ibu sangat rindu kepadamu. Lagi pula ayah sudah tidak ada dirumah lagi, dia pergi dengan perempuan itu.
Aku diam dan aku menarik nafas dalam.
“ Aku baik-baik saja kak, aku ingin sekali pulang ke rumah. Tapi……….?
Aku berfikir kembali, jika aku pulang ke rumah, aku akan menjadi beban keluargaku khususnya ibu, karena penyakit dalam tubuhku harus diobati, ibu punya uang dari mana selama ini ayahlah yang dapat membeli obat buatku dan hanya ayahlah yang dapat menghidupi seluruh keluargaku.
“ Tapi, apa dik?
“ Tapi aku tidak bisa kak. Aku menjelaskan semuanya terhadap kak Umam hingga kak Umam mengerti.
“ Tapi siapa yang akan menjaga kamu dik?”
“ Entah siapalah kak, aku akan berusaha bertahan. Aku yakin aku akan kembali kerumah dan aku lebih yakin bahwa Allah akan menjagaku.
“ Baiklah dik. Tapi jaga dirimu baik-baik, kalau ada apa-apa tolong kabari ibu dan kakak. Ini uang tiga puluh ribu buat kamu untuk membeli makan kamu supaya kamu tidak kelaparan.
“ Ia kak, terima kasih. Sampaikan salamku buat ibu dirumah.
Aku kembali menguras kesedihan karena aku memikirkan uang atas pengobatan yang diberikan ayah untukku. Aku takut bahwa uang itu tidak halal sehingga keharaman telah mendarah daging dalam tubuhku.
Aku keluar dari miesjid, dan aku melambaikan tangan kepada kakakku.
* * *
Mentari terbangun dari kelelahannya, kicau burung meramaikan suasana kota di pagi hari. Daun yang basah karena terkena air hujan malam tadi menggambarkan kesegaran yang harmoni. Aku telusuri kota itu, hingga aku terhenti di atas hamparan rumput hijau. Aku ambil lagi buku didalam tas dan aku tulis kembali sebuah tulisan yang diambil dari perjalanan hidupku
Angin membuyarkan seluruhnya, hingga buku yang aku pegang terbawa oleh angin tersebut ke tengah jalan. Dan akhirnya bukuku tergeleng, aku merintih karena aku sedih hasil karyaku dalam menjalani hidup terkapar. Tapi mobil itu berhenti dan menghampiriku
“ Dik……apakah kamu yang telah menulis karya ini?
“ Ia pak…?
Bapak itu terdiam setelah melihat tanda hitam di leher aku. Pak Rizki ( orang yang sedang bicara dengan aku ) teringat kepada anaknya yang dulu sewaktu kecil di titipkan kepada seorang perempuan separuh baya yang memiliki tanda yang sama dengan anak ini ( aku ), pak Rizki terus memikirkan apakah aku adalah anaknya. Pak Rizki langsung bertanya
“ Siapa nama ibumu nak?
“ Ibu Zahra, pak!
Pak Rizki sudah yakin bahwa aku adalah anaknya karena tepat sekali orang yang mendapat titipan anak ini adalah ibu Zahra. Pak Rizki masih menyimpan rahasia ini terhadap aku.
“ Dik marilah ikut bapak, kita ke redaksi untuk mengirimkan karyamu ini. Siapa tahu, biarpun lecek karyamu bisa diterima ditengah masyarakat.
Dengan keharuan yang amat mendalam, aku pergi bersama pak Rizki ke redaksi. Setelah di tempat redaksi pak Rizki segera memberikan karya aku. Selagi ada kesempatan aku sodorkan semua hasil karyaku yang begitu banyak yang tersimpan di dalam tas yang aku bawa.
* * *
Seluruh tubuhku terasa sakit, hingga akhirnya aku jatuh pingsan. Setelah keluar dari tempat redaksi tersebut, pak Rizki dengan segera membawa aku ke Rumah sakit. Hingga aku dirawat di sana selama 3 hari karena paru-paruku terkena infeksi, dan membayar seluruh pembayaran Rumah sakit adalah pak Rizki. Dan aku akhirnya dinyatakan bisa sembuh oleh dokter jika istirahatku bisa dikontrol dengan baik.
Pak Rizki sekarang sudah yakin bahwa aku adalah anaknya, karena selama dirumah sakit itu pula, pak Rizki berusaha menyelidiki aku dengan cara mengetahui apa golongan darah aku. Ternyata golongan darahnya pun sama.
Aku memikirkan ayah yang telah mengkhianati ibu, aku berharap agar ayah dibukakan mata hatinya dan dapat seperti pak Rizki yang ada dihadapanku ini.
“ Pak bolehkah aku meminta satu permintaan?”
“ Ia nak, kamu mau minta apa?” pak Rizki keceplosan berbicara sehingga dia memangggil anak.
“ Apa pak? Anak!!!
“ Bukan, bukan. Coba sekarang sebutkan apa permintaan dik?
“ Mohon antarkan aku pulang ke rumah untuk menemui ibu dan kakak.
“ Tentu saja dik, tapi entar sore, karena kamu diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit ini entar sore.
“ Baiklah pak.
Aku terdiam dan memikirkan kenapa pak Rizki terlalu baik terhadap aku.
Pak Rizki pun berpikir, bagaimana caranya membicarakan hal yang sebenarnya. Tapi akhirnya pak Rizki menceritakan semua.
“ Dik….?
“ Ia pak ada apa?
Pak Rizki membicarakan semuanya hingga aku dan pak Rizki mengeluarkan air mata dan aku pun sudah tahu bahwa pak Rizki adalah ayah kandungku.
“ Pak…..aku anak bapak.
“ Ia nak, kamu adalah anak bapak. Yang bapak titipkan kepada ibu Zahra yaitu ibu yang telah membimbingmu dan merawatmu dari kecil.
Karena keharuannya, mereka memeluk saling erat ditambahi dengan tangisan kebahagiaan yang tak terkira. Jadi ayah pengkhianat itu bukan ayahku, pantas saja ayah selalu memperlakukanku seperti bukan anaknya dan kenyataannya benar. Akhirnya aku dan pak Rizki saling bergembira, karena sudah terjalin sebagai ayah dan anak.
Sore pun menjelang, aku dan ayah pulang meninggalkan rumah sakit.
“ Marilah kita pulang nak? kita temui ibu Zahra.
“ Baiklah ayah, tapi aku mau bertanya. Dimana ibu kandungku?
“ Ibu kandungmu sudah meninggal 13 tahun yang lalu nak. Maka dari itu ayah titipkan kamu kepada ibu Zahra, karena ayah tidak akan bisa merawat kamu nak, karena tidak ada ibumu.
Aku tidak bisa menahan tangisan ini, aku serasa berada di alam mimpi.
* * *
Aku pulang ke rumah bu Zahra, dengan tangisan yang mengharukan, aku memeluk erat ibu Zahra setelah aku melihatnya. Begitu pun kak Umam, dia merangkulku dengan penuh kebahagiaan.
“ Kamu baik- baik saja nak?”
“ Ia bu, aku rindu sama ibu.
Tapi mulutku serasa di kunci setelah aku menyadari bahwa ibu Zahra bukanlah ibu kandungku, dan aku melepaskan pelukannya.
“ Kenapa nak? Ada apa nak?
Aku menceritakan semuanya tentang apa yang telah terjadi. Ibu Zahra pun kaget setelah melihat pak Rizki di balik pintu, ibu Zahra langsung menyadari semuanya.
Ternyata pak Rizki sudah tahu semua tentang keluarga ibu Zahra salah satunya tentang lelaki tak bermoral itu, yang ada dalam pikirannya adalah tentang anaknya yaitu aku, pak Rizki tidak mau kalau ibu Zahra yang sangat berjasa dalam menghidupi aku tidak mendapatkan apa-apa.
Akhirnya pak Rizki punya niat dan perasaan dalam hati untuk menikahi ibu Zahra, dengan cepat pak Rizki berbicara kepada ibu Zahra karena dia ingin menikahinya, ibu Zahra pun menerimanya.
Kini lelaki yang telah mengkhianati ibu Zahra tengah mendekam dipenjara karena tertangkap basah sedang melakukan perzinahan oleh petugas kepolisian.
Akhirnya pak Rizki dan ibu Zahra resmi menikah dan menjadi pasangan suami isteri. Aku dan kakak pun bahagia karena mempunyai ayah dan ibu yang sangat baik. Di tengah kabahagiaan sebuah mahligai keluarga tersebut, datang seorang diri dari bagian redaksi yang memberi tahu bahwa aku tengah diangkat menjadi seorang sastrawan, karena bukunya sudah tersebar di seluruh pelosok nusantara dalam waktu singkat. Dan aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 jurusan sastra di Universitas paling terkemuka di kotaku.
Kebahagiaan yang tiada tara akhirnya datang menghadapku, setelah menjalani hidup dalam kelelahan. Ya Allah inilah rahasiaMu, terima kasih yang sebesar-besarnya. Penyakitku hilang, cita-cita yang ku idam-idamkan telah ku gapai, sekarang aku mempunyai ibu dan ayah yang baik. Aku bersyukur atas nikmat dan Anugerah serta karuniaMu yang telah Engkau berikan kepadaku dan keluargaku.
Akhirnya waktu itu menjadi moment yang sangat bersejarah dalam perjalanan hidupku. Keluargaku hidup bersama dalam kesucian dan keindahan, terukirlah keluarga yang terbentuk dari bingkai cinta yang sangat indah diatas keimanan dan ketaqwaan kepadaNya.
SELESAI